Type something and hit enter

Pages

By On
Game of Thrones Season 3 - Review

Musim tayang ketiga dari Game of Thrones baru saja selesai minggu lalu. Akhir musim ketiga ini ditandai dengan banyak penontonnya yang patah hati (terutama yang belum membaca bukunya). Seharusnya memang nggak terlalu mengejutkan sih, karena sejak kematian Eddard ‘Ned’ Stark (Sean Bean) di episode 9 musim pertama, kita diberi pesan: ‘no characters are safe’.

Seperti Daenerys yang berujar di salah satu episode: “Valar morghulis” – All men must die.

Masih sama dengan musim sebelumnya, musim tayang ketiga ini terdiri atas 10 episode yang ditayangkan sejak Maret hingga Juni 2013. Seri ketiga ini berdasarkan buku ketiga dari saga ‘A Song of Ice and Fire’, yaitu A Sword of Storms. Nggak keseluruhan buku yang dipakai, cuma sekitar 2/3 bagian aja. Sisanya bakal dimasukkin ke musim ke-4 (tahun 2014).

Game of Thrones Season 3 - Review

Gue bakal review keseluruhan season ya, bukan episode per episode. Karena nontonnya juga udah berminggu-minggu, maaf ye kalau ada yang ketinggalan atau salah-salah. Kalau nggak mau baca spoiler, langsung loncat ke bawah aja ya.

Season dua diakhiri dengan Sam yang ketemu banyak White Walkers. Di awal season tiga, ternyata Sam selamat bersama sisa-sisa Night’s Watchers lainnya, termasuk ‘Old Bear’ atau Lord Commander Mormont. Mereka semua memutuskan pulang ke The Wall dan mampir dulu di rumah Craster. Di rumah Craster ini, Sam ngeliat Gilly (anak sekaligus istri Craster) melahirkan. Tiba-tiba ada perselisihan di rumah Craster ini, Craster dan Lord Commander Mormont ini sama-sama terbunuh. Sam nyelamatin Gilly serta bayinya dan pergi menjauh dari rumah Craster. Keduanya, kemudian bersembunyi di gubuk kecil. Nah ketika itu tiba-tiba banyak banget raven di sekitar mereka, saat raven itu menghilang, datangnya sesosok White Walker yang ingin mengambil bayi Gilly. Sam berusaha melindungi Gilly, sampai pedangnya hancur berantakan. Saat terdesak, Sam inget punya pisau dragonglass yang ditemukannya di season dua dan menggunakan pisau itu sebagai senjata. Tak disangkat, pisau dragonglass itu bisa membunuh si white walker. Setelah ribuan tahun, Sam orang pertama yang membunuh White Walker. Sehabis itu, Sam sama Gilly pun lari lagi, mereka menuju Castle Black, The Wall.

Dalam perjalanan ke The Wall, Bran ketemu dengan Jojen Reed. Jojen datang bersama kakaknya Meera, yang memang dengan sengaja nyari Bran. Jojen ini punya kemampuan untuk dikasih semacam penglihatan itu. Penglihatan itulah yang menuntun Jojen untuk mencari Bran agar bisa membantu menemukan gagak mata tiga–third eyed raven. Akhirnya, rombongan Bran pun bertambah dua. Jojen meyakinkan Bran untuk pergi ke Beyond-The-Wall untuk mencari jawaban mimpi-mimpinya. Akan tetapi, Osha yang wildlings, menolak mentah-mentah rencana itu. Setelah kejadian Bran yang masuk ke pikiran Hodor, kemudian ke pikiran Summer (direwolf-nya), Osha pun mengiyakan untuk berpisah. Bran, Hodor, Jojen dan Meera akan ke Beyond-the-Wall, sementara Osha menemani Rickon menuju Umber, salah satu sekutu House Stark.

Apa yang dilakukan Bran kepada Summer itu semata-mata cuma untuk menyelamatkan diri. Namun, ketika itu Bran melihat Jon Snow, dan akhirnya Summer serta Shaggydog malah menyelamatkan Jon Snow. Di situ, Jon Snow bersama kawanan Wildings lainnya, seperti Mance dan Yggrite. Mereka berhasil memanjat The Wall dalam rangka rencana invasi ke The Wall. Mereka hendak mencuri kuda, tetapi Jon Snow sempat memberi sinyal kepada pemilik peternakan untuk lari. Jon dan Wildings mengejar, lalu Jon Snow diminta untuk membunuh orang tua tersebut, tetapi dia nggak bisa. Pada saat itu, Bran, Rickon, dan Jon ada di satu tempat yang sama, tapi Bran dan Rickon sembunyi di menara, sementara Jon di bawah (ini bikin geregetan banget). Setelah diselamatkan Summer, Jon pun menunggangi kuda dan melarikan diri, meninggalkan Ygritte, menuju ke Castle Black.

Bran, dkk, yang sedang bersembunyi di salah satu kastil tua milik Night’s Watcher. Nggak sengaja mereka ketemu Sam dan Gilly. Ketika ngelihat direwolf Bran, Sam tahu kalau Bran anggota keluarga Stark dan saudara Jon Snow. Sam pun mau membantu membukakan jalan ke Beyond-the-Wall. Sebelum berpisah, Sam memberikan dragonglass yang dia punya ke rombongan Bran.

Sam pun sampai ke Castle Black. Dia meminta izin kepada Maester Aemon untuk mengizinkan Gilly tinggal sementara di Castle Black. Nggak lama setelah itu, datanglah Jon Snow yang dalam keadaan luka-luka habis dipanah Yggrite yang marah. Jon sempat dituduh pengkhianat, tetapi dia menjelaskan kalau semua yang dilakukannya adalah atas perintah Qhorin Halfhand.

Sam menceritakan apa yang dia lihat di Beyond-the-Wall kepada Maester Aemon. Maester Aemon pun memutuskan untuk memperingatkan seluruh Westeros atas bahaya White Walkers.

Di Dragonstone, Ser Davos yang baru saja selesai membaca surat dari Maester Aemon dipanggil oleh Stannis Baratheon. Stannis tahu kalau Davos-lah yang melepaskan Gendry, anak bastard dari Robert Baratheon. Ketika Stannis mau menjatuhkan hukuman, Davos memberikan surat yang diterimanya kepada Stannis. Melisandre ikut membaca dan meyakinkan Stannis kalau musuh mereka yang sebenarnya adalah White Walkers itu. Akhirnya, Stannis urung menghukum Davos.

Ser Davos menyelamatkan Gendry karena mereka berdua memiliki nasib serupa. Gendry ditangkap Melisandre ketika sedang berpergian bersama Arya Stark serta ‘Brotherhood without Banners’. Melisandre membuat Stannis percaya kalau darah keturunan raja bisa membantu menaklukan Seven Kingdoms. Jadi, Gendry diambil darahnya sedikit-sedikit. Ketika pertama kali membakar darah Gendry di atas api Stannis menyebutkan tiga nama: Balon Greyjoy, Robb Stark, dan Joffrey Baratheon.

Arya yang kecewa dengan Brotherhood without Banners akhirnya melarikan diri dan malah ditangkap oleh The Hound. Keduanya melakukan perjalanan, awalnya Arya pikir akan dibawa ke King’s Landing. Ternyata The Hound membawanya ke The Twins untuk diserahkan kepada Robb Stark dan Catelyn Stark dengan imbalan uang.

Robb Stark, yang dinobatkan menjadi King in The North, saat itu memang berada di The Twins untuk pernikahan Edmure Tully dan salah satu putri Walder Frey. Seharusnya, Robb yang menikah, tapi karena Robb untuk menikah atas nama cinta dengan Talisa. Terpaksa Edmure yang menikah demi menyatukan kekuatan pasukan Stark dan Frey. Namun, tak disangka… pernikahan itu ternyata sudah direncanakan menjadi tragedi. Rombongan Robb Stark dibunuh, salah satunya yang selamat adalah Blackfish, paman Robb. Sementara Catelyn dan Talisa juga meninggal.

Keberanian Walder Frey membantai keluarga Stark itu ternyata didukung oleh Lannister. Roose Bolton mewakili Lannister menggorok leher Robb. Joffrey di King’s Landing senang banget mendengar kabar itu dan menginginkan kepala Robb untuk ditunjukkan ke Sansa Stark. Akan tetapi, Tyrion dengan mentah-mentah menolak apa yang Joffrey ingin lakukan kepada istrinya. Tywin pun mengusir Joffrey dari council meeting itu dengan halus.

Pernikahan Tyrion dan Sansa adalah salah satu rencana Tywin Lannister untuk menguasai bagian utara Westeros. Sementara itu, Tywin juga merencanakan pernikahan Cersei dan Loras Tyrell yang ditolak Cersei. Dan Joffrey akhirnya bertunangan dengan Margery Tyrell, janda dari Renly Baratheon.

Karena pernikahannya dengan Tyrion juga, Sansa batal pergi dengan Littlefinger yang berencana membawanya kembali ke Winterfell. Tetapi, seenggaknya, Sansa udah nggak tersiksa lagi seperti waktu sama Joffrey (anak setan!).

Anggota keluarga Lannister lainnya, Jaime, melakukan perjalanan ke King’s Landing ditemani Brienne Tarth. Brienne berjanji untuk membawa Jaime ke KL dan menukarnya dengan Sansa serta Arya kepada Catelyn. Dalam perjalanan mereka sempat ditangkap entah oleh siapa gue lupa. Ketika Jaime menyelamatkan Brienne agar tidak diperkosa, tangan dia malah dipotong. Mereka berdua dibawa ke Harrenhal dan diperlakukan baik dengan Roose Bolton. Di sini, Jaime cerita gimana dia dulu membunuh Mad King kepada Brienne. Saat Jaime akan diantar ke King’s Landing sendirian, dia menolak dan balik ngejemput Brienne ke Harrenhal. Di Harrenhal, Brienne yang sedang diadu dengan beruang, diselamatkan Jaime lagi. Akhirnya, mereka berdua pun pergi ke King’s Landing bersama.

Di seberang Narrow Sea, Daenerys pergi ke Astapor untuk membeli pasukan ‘Unsullied’ sebanyak 8000 orang. Daenerys sempet dibodoh-bodohi penjualnya, tetapi ternyata Daenerys bisa juga bahasa Valyria dan membuktikan kesetiaan pasukannya itu dengan membunuh majikan sebelumnya. Daenerys juga mengambil lagi naganya dengan menyerukan ‘Dracarys’ dan si naga pun membakar si penjual congkak itu.

Setelah dari Astapor, Daenerys bergerak ke Yunkai. Di Yunkai, Daenerys mendapatkan sekutu baru, Second Sons, yang dipimpin oleh Daario Naharis. Daenerys pun bisa membebaskan budak-budak di Yunkai. Dan para budak-budak itu menyerukan namanya: ‘Mhysa! Mhysa!’

“All men must die. But, we are not men.”

Gue pribadi bilang ini musim terbaik dari tiga musim tayang Game of Thrones. Beberapa momennya memang jleb betul, terutama ‘Dracarys’ di episode 4 dan ‘Red Wedding’ di episode 9. Twist yang dikasih di kedua episode itu, juara banget (terutama buat yang belum baca bukunya).

Seri ketiga ini tentunya masih lanjutan dari yang sebelumnya. Nggak bisa ditonton terpisah.  Ada karakter-karakter baru juga, seperti Jojen Reed, Meera Reed, Ollena Tyrell (neneknya Margaery Tyrell), dan ‘The Boy’ alias Ramsay Snow (anak bastar Bolton yang nyiksa Theon sepanjang season 3).

Apa ya yang mau dibahas, semua masih excellent seperti season-season lalu. Keterikatan penonton kepada karakter-karakternya mungkin sekarang jauh lebih kuat, sehingga peristiwa Red Wedding itu membekas banget. Jalan cerita di masing-masing tempat juga menarik. Favoritku tentunya polemik di King’s Landing dan di The Wall. Sementara yang lain, gue nggak terlalu perhatiin, meski masih terkait cerita utama ya.

Cerita Daenerys setelah episode 4 jadi membosankan, menurutku. Meski, Daenerys kelihatan naksir-naksir gitu sama Daarion, tapi ya kasihan Ser Jorah sih, yang dari dulu ada di zona friendzone bareng Daenerys. Bahasan apa itu barusan, nggak penting sekali….

Akting pemain-pemainnya juga masih juara banget. Banyak adegan yang bikin air mata berlinang-linang sampai bantal jadi basah. Banyak juga yang bikin geregetan. Kalau season tiga aja udah begini, apalagi nanti season 4 (karena bakal banyak banget kejutan di situ).

Di season ini, kita benar-benar dikasih pelajaran telak untuk nggak memfavoritkan salah satu karakter. Siapa yang tadinya kita benci, bisa aja berbalik jadi suka. Semua karakternya abu-abu, nggak ada yang benar-benar baik atau buruk. Kita diperlihatkan segala sisi yang seringnya kita pikir nggak ada. Seperti, Jaime, dulu di season satu gue benci banget sama dia, di season tiga ini… gue cuma berkomentar: ‘ya, Jaime juga manusia. Bisa ngelakuin kesalahan.’ dan setelahnya… gue malah jatuh simpati sama dia. Apalagi dengan interaksi Jaime dan Brienne yang manis banget dan jadi salah satu favoritku sepanjang season juga, itu bikin lebih punya empati ke Jaime. Begitu pula Sansa dan Theon, yang gue kasihani… tapi ya, itu pilihan mereka juga kok, yaudah. Dan banyak karakter lainnya. Mungkin yang nggak bisa dapet simpati cuma Joffrey, yang setiap kali mukanya muncul di layar pengin nyakar dan nyekek aja bawaannya.

Gue pernah membaca sebuah artikel, kenapa sih bertahan nonton Game of Thrones padahal banyak banget kekerasan dan seksualnya. Si penulis artikel itu menyimpulkan, kalau betah nonton Game of Thrones karena kita tahu apa yang terjadi di sana itu adalah akibat dari pilihan-pilihan yang karakternya ambil. Dan kita sebagai penonton akhirnya cuma bisa mengumpat-umpat geregetan sambil berdoa si karakter baik-baik saja.

Kalau menurutku pribadi, kenapa begitu, mungkin karena harapan ya. Harapan itu kan sesuatu yang nggak bisa mati. Gue pribadi berharap suatu saat nanti Keluarga Stark bisa bereuni lagi, karena itulah gue setia nonton ini. Serta, gue juga ingin tahu siapa sebenarnya nanti yang berhasil menduduki Iron Throne.
Loading...
Loading...